Pembaharuan Hukum dan Pembatasan Jam Malam: Menjamin Perlindungan Anak dari Kejahatan di Indonesia

Pembaharuan Hukum dan Pembatasan Jam Malam: Menjamin Perlindungan Anak dari Kejahatan di Indonesia

BAB I


Pendahuluan


1.1. Latar Belakang Masalah


Anak merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita lindungi agar tercapai masa pertumbuhan dan perkembangannya menjadi seorang manusia dewasa sebagai keberlanjutan masa depan bangsa (Fajaruddin 2014) sehingga mutlak bagi negara dan pemerintah memberikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia kepada anak sebagai bagian dari anak bangsa yang diharapkan menjadi pelanjut citacita perjuangan bangsa Indonesia (Djanggih 2018).


Setiap negara, hak anak telah di atur dalam Undang-Undang dalam hal ini tidak terkecuali di Indonesia (Roza and S 2018). Negara memikul tanggungjawab memberi jaminan atas kesejahteraan anakanak secara konstitusional dalam UndangUndang Dasar 1945. Secara hierarkis dikeluarkan dan disahkan berbagai produk hukum yang menjadi dasar kebijakan dan rambu-rambu dalam memperlakukan anak-anak Indonesia, mulai dari produk hukum nasional dan produk hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia (Ismawati 2013).


Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan Protokolnya melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dan UU No.5 Tahun 1998, serta Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman Kejam Lainnya yang Merendahkan Martabat Manusia. Oleh karena itu, hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkan Konvensi ini dalam praktik dan memasukkan ke dalam peraturan-peraturan yang berlaku. (Ernis, 2016: 164).


Di Indonesia, pengendalian berkenaan dengan langkah-langkah jaminan anak telah dikeluarkan dengan tepat dengan keinginan masyarakat di Indonesia, bagian dari dunia internasional dalam memperhatikan pemenuhan hak-hak anak berdasarkan Tradisi Yang Benar Anak pun mengandung dampak positif untuk peningkatan keamanan anak di Indonesia.


Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa penyelenggara perlindungan anak adalah orang tua, keluarga, pemerintah dan negara, beban pertama dalam penyelenggaraan perlindungan anak jatuh pada orang tua, namun diera modern seperti sekarang ini kebanyakan orang tua sibuk dengan pekerjaannya dan mulai mengabaikan anaknya.


Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 menjadi dasar Convention Of The Right Of a Child, namun konvensi perlu dianalisis lebih baik, hal ini dimaksudkan karena konvensi ini lebih banyak mengakomodir nilai-nilai dan budaya yang bernuansa eropa sehingga beberapa kalangan menilai budaya asia tidak terakomodir di dalamnya (Haling 2018).


Oleh karena itu, pemerintah saat itu disebut-sebut terburu-buru meratifikasi Konvensi Hak Anak, terbukti dengan tersedianya fasilitas perlindungan anak, peralatan pendukung, dan sistem sanksi, misalnya kawasan pemantauan.dan bentuk hukuman lain selain ancaman pidana penjara.


Kejahatan terhadap anak tiap tahunnya meningkat dengan sangat pesat, berdasarkan hasil pantauan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dari tahun 2011 sampai 2014 sebelum berlakunya Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak terjadi 2178 kasus kekerasan pada tahun 2011, sedangkan tahun 2012 sejumlah 3512 kasus, 2013 terjadi 4311 kasus dan tahun 2014 terjadi 5066 kasus. Jumlah tersebut adalah anak yang menjadi korban, sementara anak yang berhadapan dengan hukum dari tahun 2011 sampai tahun 2015 berjumlah 6006 kasus, selanjutnya kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus (www.kpai.go.id/berita/kpai-pelakukekerasan-terhadap-anak-tiaptahun-meningkat n.d.)


Data terakhir yang dikeluarkan Komite Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2016 terdapat 3.851 pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang sama juga berlaku pada anak-anak yang berada dalam keadaan sulit menjadi korban kekerasan atau anak yang berhadapan dengan hukum belum menunjukkan perkembangan yang baik.


Melihat banyaknya pengaduan,di atas, tentu bukan berarti pemerintah Indonesia tidak memperhatikannya. Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah, antara lain kebijakan untuk meningkatkan sanksi bagi pelanggar perlindungan anak atau upaya khusus yang telah dilakukan, berbagai peraturan dan undang-undang, perencanaan dan penganggaran serta pembentukan organisasi yang mampu terus mengatasi permasalahan anak. Indonesia secara sistematis.


Terlepas dari fakta-fakta tersebut diatas maka hal lain yang memprihatinkan adalah eksploitasi anak pada sektor seksual. Pemerintah mengakui tidak adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60% korbannya adalah anak-anak. Sedangkan mayoritas dari 60% korbannya adalah perempuan dan sebagian anak laki-laki.


Eksploitasi seksual komersial anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornographi anak. Diperkirakan sekitar 30% dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak (http://www.republika.co.id/berita/koran/h n.d.).


Hingga saat ini metode penanggulangan pelanggaran perlindungan anak kebanyakan masih pada tataran pendampingan baik anak yang berhadapan dengan hukum ataupun anak yang menjadi korban,akan tetapi masih belum ada Tindakan yang sifatnya mencegah terjadinya suatu kejahatan yang baik itu di alami ataupun di lakukan oleh anak.


Kasus yang terjadi pada Vina salah satu contoh,yang Dimana tidak adanya penanggulangan kejahatan yang efektif. Kasus tersebut bisa terjadi salah satunya dikarenakan kurangnya pengawasan orang tua dan tidak adanya aturan jam malam yang ditujukan kepada anak di bawah umur.


1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah


A. Pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur, dapat memberikan manfaat hukum dalam mencegah kejahatan anak di Indonesia


B. Pembatasan jam malam pada anak dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak anak.


1.3. Tujuan Penelitian


A. Menemukan pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur,dapat memberikan manfaat hukum dalam mencegah kejahatan anak di Indonesia


B. Menemukan pembatasan jam malam pada anak dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,khususnya hak anak


1.4. Manfaat Penelitian


A. Kontribusi terhadap pengembangan kebijakan dan peraturan terkait pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur:


- Memberikan analisis komprehensif mengenai implementasi dan efektivitas kebijakan tersebut.


- Mengidentifikasi kekurangan dan kendala dalam penerapannya.


- Merumuskan rekomendasi perbaikan dan pengembangan kebijakan yang lebih efektif.


B. Peningkatan pemahaman tentang peran hukum dalam pencegahan kejahatan anak:


- Mengkaji secara mendalam bagaimana pembatasan jam malam dapat memberikan manfaat hukum dalam mencegah kejahatan anak.


- Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemanfaatan hukum dari kebijakan tersebut.


- Memberikan wawasan tentang optimalisasi peran hukum dalam melindungi anak dari tindak kejahatan.


C. Kontribusi teoretis bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perlindungan anak:


- Memperkaya kajian teoretis mengenai hubungan antara pembatasan jam malam, penegakan hukum, dan pencegahan kejahatan anak.


- Memberikan perspektif baru dalam memahami konsep kemanfaatan hukum dalam konteks perlindungan anak.


- Membangun kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk penelitian serupa di masa depan.


D. Manfaat praktis bagi pemangku kepentingan:


- Memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.


- Memberikan masukan untuk perbaikan implementasi pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur.


- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak melalui upaya pencegahan kejahatan.


- Secara keseluruhan, disertasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam upaya menjamin kemanfaatan hukum dan mencegah kejahatan anak di Indonesia.


1.5. Teori


Di dalam penelitian ini,saya menggunakan 3 teori yang memang relevan saya gunakan untuk menyelesaikan permasalahan di dalam penelitian ini.


1. Teori Kontrol Sosial (Grand Theory)


Teori utama (grand theory) yang digunakan dalam disertasi ini adalah Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory) yang dikemukakan oleh Travis Hirschi. Teori ini berpandangan bahwa kejahatan terjadi ketika ikatan individu dengan masyarakat melemah, sehingga diperlukan adanya sistem kontrol sosial yang efektif untuk mencegah perilaku menyimpang (Hirschi 1969).


Teori kontrol sosial adalah suatu teori tentang penyimpangan yang disebabkan oleh kekosongan pengawasan atau pengendalian dalam lingkungan sosial (Hirschi 1969). Teori ini dibangun atas pandangan yang mana pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk tidak mengikuti aturan atau tidak patuh pada hukum, serta memiliki dorongan untuk melawan aturan ataupun hukum. Dengan demikian, teori ini menilai bahwa perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan dari seseorang untuk menaatinya.


Travis Hirschi mengatakan bahwa teori kontrol sosial ini untuk menjelaskan mengapa seseorang dapat taat pada peraturan dan norma. Menurutnya, teori ini berpotensi menentukan perilaku seseorang agar sesuai dengan norma sosial di lingkungan tersebut. Bentuk-bentuk kontrol sosial ini terdiri dari empat elemen. Pertama, attachment yang merupakan keterkaitan individu pada individu lain (orang tua). Involvement, yakni sebagai pencegahan terhadap kecenderungan seseorang dalam melakukan kejahatan atau memperkecil kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Kemudian, commitment di mana orang tua harus berkomitmen dalam mengurus dan mendidik anak. Terakhir, belief atau unsur yang mewujudkan pengakuan dari seorang anak akan norma-norma yang baik dalam masyarakat.


Travis Hirschi menyebutkan ada beberapa proposisinya terhadap kontrol sosial, sebagai berikut: 1) Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasikan individu warga masyarakat ini untuk bertindak terhadap aturan; 2) Perilaku menyimpang ataupun kriminalitas adalah bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial untuk mengikat individu agar patuh dan taat terhadap norma ataupun nilai, seperti keluarga, instansi pemerintah, dan lain-lain; 3) Setiap individu ini harus belajar melakukan hal-hal yang baik dan lingkungan sosial agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang; 4) Kontrol internal lebih berpengaruh dalam kontrol eksternal.


2. Teori Perlindungan Anak (Middle Range Theory)


Teori menengah (middle range theory) yang digunakan adalah Teori Perlindungan Anak (Child Protection Theory) yang menekankan pada pentingnya menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak sebagai kelompok yang rentan. Teori ini menjadi landasan untuk menganalisis peran pembatasan jam malam anak dalam menjamin kemanfaatan hukum bagi anak.


Terdapat beberapa ahli hukum di Indonesia yang mengemukakan teori perlindungan anak, di antaranya adalah Philipus M. Hadjon dan Barda Nawawi Arief. Teori perlindungan hukum bagi anak yang dikemukakan Philipus M. Hadjon, menitikberatkan kepada perlindungan hukum di bidang hak asasi anak (Hadjon 1991). Menurut Barda Nawawi Arief, teori perlindungan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak (Arief 1998).


Perlindungan anak secara umum adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Soekanto 2006).


Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala tindakan yang dilakukan untuk menjamin dan membela hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berperan serta dalam masyarakat dengan menjunjung tinggi martabat manusia dan bebas. dari diskriminasi dan kekerasan.


3. Teori Efektivitas Hukum (Applied Theory)


Adapun teori terapan (applied theory) yang digunakan adalah Teori Efektivitas Hukum (Legal Effectiveness Theory) yang dikembangkan oleh Lawrence Friedman. Teori ini memandang bahwa efektivitas hukum ditentukan oleh tiga elemen utama, yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Teori ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas implementasi pembatasan jam malam anak dalam mencegah kejahatan anak (Friedman 1975).


Pertama, Friedman mendefinisikan hukum sebagai kumpulan hukum atau konvensi tertulis atau tidak tertulis yang berkaitan dengan moralitas, perilaku, kewajiban, tanggung jawab, dan hak.


Berdasarkan definisi hukum yang dikemukakan sebelumnya, Friedman berpendapat bahwa masyarakat memandang hukum ada secara independen atau terlepas dari tatanan sosial. Menurut perspektif ini, perbuatan dan perilaku terjadi pada tataran kehidupan, namun struktur dan peraturan hukum ada pada tataran teoritis.


Menurut Friedman, ada tiga bagian sistem hukum: budaya hukum, substansi hukum, dan struktur hukum (budaya hukum).


Suatu organisasi yang didirikan oleh sistem hukum untuk membantu berjalannya sistem tersebut dikenal sebagai struktur hukum. Berkat komponen ini, mudah untuk mengamati bagaimana sistem hukum menawarkan layanan untuk pemrosesan rutin bahan hukum.


Produk sistem hukum, berupa peraturan dan aturan yang digunakan baik oleh mereka yang tunduk pada peraturan maupun yang tidak, adalah substansi atau substansi hukum.


Friedman mengacu pada budaya (budaya hukum) sebagai seperangkat keyakinan dan watak yang membentuk bagaimana hukum diterapkan. Budaya hukum ini berfungsi sebagai penghubung antara kode hukum dan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.



Bab 2


Pembahasan


2.1. Pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur, dapat memberikan manfaat hukum dalam mencegah kejahatan anak di Indonesia


Pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya perlindungan anak dari berbagai bentuk kejahatan. Di Indonesia, anak-anak seringkali menjadi sasaran kejahatan serius, seperti penculikan dan kekerasan seksual. Dengan menetapkan batasan waktu bagi anak-anak untuk berada di luar rumah, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan memberikan rasa perlindungan kepada orang tua. Hal ini penting mengingat banyaknya laporan kasus kejahatan yang melibatkan anak, yang menunjukkan perlunya tindakan preventif yang lebih tegas .


Manfaat hukum dari pembatasan jam malam sangat terlihat dalam konteks pencegahan kejahatan. Dengan adanya regulasi yang jelas, pihak berwenang memiliki dasar hukum untuk menindaklanjuti pelanggaran. Misalnya, jika anak-anak ditemukan berada di luar setelah jam malam, aparat penegak hukum dapat memberikan edukasi dan intervensi. Ini tidak hanya mencegah anak-anak terlibat dalam perilaku berisiko, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan bimbingan yang lebih baik, sehingga memperkecil kemungkinan mereka terjebak dalam lingkaran kejahatan .


Lebih jauh lagi, pembatasan jam malam dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak. Ketika orang tua dan komunitas menyadari dampak negatif dari kejahatan terhadap anak, mereka cenderung lebih proaktif dalam menjaga keselamatan anak. Edukasi dan kampanye sosial yang dilakukan bersamaan dengan kebijakan ini dapat memperkuat komitmen masyarakat dalam melindungi anak-anak dari bahaya. Dengan menciptakan budaya yang lebih peduli terhadap keselamatan anak, pembatasan jam malam dapat diimplementasikan dengan lebih efektif .


Penerapan pembatasan jam malam juga memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk berkolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti sekolah dan organisasi masyarakat. Melalui kerja sama ini, program-program edukasi dan dukungan bagi anak dan orang tua dapat dikembangkan. Misalnya, sekolah dapat mengadakan seminar tentang bahaya yang dihadapi anak di luar rumah pada malam hari, serta cara-cara untuk melindungi diri. Dengan demikian, pembatasan jam malam tidak hanya menjadi regulasi, tetapi juga bagian dari upaya bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak .


Akhirnya, pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur dapat berkontribusi pada pengurangan angka kejahatan yang melibatkan anak. Dengan mengurangi waktu yang dihabiskan anak di luar rumah pada malam hari, peluang bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal juga berkurang. Hal ini tentu saja sejalan dengan tujuan utama dari kebijakan ini, yaitu untuk melindungi anak dan memastikan mereka dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan sehat. Dengan dukungan hukum yang kuat dan keterlibatan masyarakat, pembatasan jam malam dapat menjadi langkah signifikan dalam mencegah kejahatan terhadap anak di Indonesia .


2.2. Pembatasan Jam Malam pada Anak dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia


Pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak anak, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak. Salah satu tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Dengan menentukan batasan waktu bagi anak untuk berada di luar rumah, negara berupaya menciptakan lingkungan yang lebih aman dan melindungi hak anak untuk hidup dalam keamanan dan perlindungan. Oleh karena itu, pembatasan jam malam tidak hanya menjadi regulasi, tetapi juga merupakan bagian dari komitmen negara untuk menjunjung tinggi hak-hak anak.


Selain itu, pembatasan jam malam juga sejalan dengan hak anak untuk mendapatkan perhatian dan pengawasan dari orang tua atau wali. Dalam konteks ini, orang tua diharapkan dapat melindungi anak-anak mereka dari bahaya yang mungkin terjadi di luar rumah pada malam hari. Dengan adanya regulasi ini, orang tua memiliki dasar hukum untuk membatasi aktivitas anak-anak mereka, sehingga dapat memberikan pengawasan yang lebih baik. Hal ini mencerminkan penghormatan terhadap hak anak untuk dilindungi dan dibimbing dalam proses tumbuh kembangnya.


Pentingnya pembatasan jam malam juga terletak pada pengakuan terhadap hak anak untuk berpartisipasi dalam lingkungan yang aman. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi anak untuk terlibat dalam kegiatan positif di siang hari, tanpa harus khawatir akan ancaman kejahatan di malam hari. Dengan demikian, hak anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pengembangan diri dapat tetap terjaga, sementara pada saat yang sama, mereka dilindungi dari risiko yang merugikan. Ini adalah contoh konkret dari bagaimana regulasi dapat mendukung hak asasi anak dalam keseharian mereka.


Lebih jauh, pembatasan jam malam dapat dianggap sebagai langkah preventif yang sejalan dengan prinsip pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keamanan yang terjamin akan mendorong anak untuk fokus pada studi dan kegiatan positif lainnya, tanpa terganggu oleh kekhawatiran akan keselamatan mereka. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang produktif dan berkontribusi positif bagi masyarakat, sesuai dengan hak mereka untuk berkembang secara optimal.


Akhirnya, untuk memastikan bahwa pembatasan jam malam ini diterima dan dilaksanakan dengan baik, penting untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua, sekolah, dan masyarakat. Edukasi tentang hak anak dan pentingnya perlindungan anak harus menjadi bagian dari implementasi kebijakan ini. Dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif, pembatasan jam malam dapat dilihat sebagai upaya kolektif untuk melindungi hak anak, sambil tetap menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia yang lebih luas. Hal ini akan menghasilkan sinergi yang positif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak di Indonesia.



Bab 3


Kesimpulan


Pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur merupakan langkah strategis yang memiliki manfaat hukum signifikan dalam mencegah kejahatan terhadap anak di Indonesia. Dengan menetapkan batasan waktu bagi anak untuk berada di luar rumah, pemerintah tidak hanya berupaya melindungi anak dari berbagai ancaman kejahatan, tetapi juga memberikan rasa aman bagi orang tua. Kebijakan ini menciptakan lingkungan yang lebih aman dan memberikan dasar hukum bagi penegakan aturan yang dapat mengedukasi anak-anak tentang pentingnya keselamatan.


Lebih dari itu, pembatasan jam malam dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak anak. Kebijakan ini menghormati hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari orang tua, serta menjamin keamanan yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, pembatasan jam malam tidak hanya berfungsi sebagai regulasi, tetapi juga sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak dalam konteks yang lebih luas.


Secara keseluruhan, pembatasan jam malam bagi anak di bawah umur harus dipandang sebagai bagian dari komitmen kolektif untuk melindungi hak anak dan mencegah kejahatan. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua, sekolah, dan masyarakat, kebijakan ini dapat diimplementasikan secara efektif dan memberikan dampak positif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perkembangan anak-anak di Indonesia.